Setiap tanggal 2
Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional, yang bertepatan
dengan kelahiran Ki Hajar Dewantara. Beliau adalah pahlawan nasional yang
mendirikan sekolah Taman Siswa. Bahkan filosofinya sampai dengan saat ini masih
digunakan sebagai semboyan pendidikan.
Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. (Di depan memberikan teladan, di tengah memberikan dukungan, di belakang memberikan dorongan) -Ki Hajar Dewantara
Dalam
memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini, pemerintah telah memilih tema “Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan”. Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk mendukung dan mewujudkan kondisi ideal sesuai tema,
dua di antaranya adalah:
1. Berbagi dan memanfaatkan ilmu yang kita miliki.
Kebodohan adalah awal dari kemiskinan.
Ungkapan
ini benar adanya, tanpa memiliki
ilmu, hidup menjadi susah. Karena semua permasalahan dalam hidup ini akan
menjadi mudah bila kita memiliki ilmunya. Contoh : seorang dokter tidak bisa
membangun jembatan, tapi mudah menurut insinyur teknik sipil; sebaliknya,
insinyur tidak mampu mengobati penyakit, dokter yang bisa.
Cara
memperingati yang pertama, yaitu tidak takut berbagi ilmu. Karena ilmu tidak
akan habis. Justru semakin dibagi, maka akan semakin banyak juga wawasan baru
yang kita peroleh. Ada banyak manfaat dari berbagi ilmu. Selain akan membuat orang
yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, tidak paham berubah paham, kita bisa juga
memberikan inspirasi.
Sehingga, dapat kita bayangkan bila setiap orang peduli dan bersedia membagikan ilmunya, kebodohan dapat diberantas, pandangan atau cara berpikir seseorang dapat menjadi lebih baik lagi, menjalin hubungan baik dengan orang lain, serta membantu orang yang sedang kesulitan.
Ilmu dibagi dengan aneka cara. Bahkan, hanya dengan membagikan tips, resep, menasihati, baik secara lisan maupun tulisan; kita sudah membagikan ilmu yang dimiliki. Mudah, kan?
2. Membiasakan Membaca
Suatu
bangsa akan berbudaya maju bila masyarakatnya suka membaca. Sebetulnya masyarakat
Indonesia juga tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Bagaimanapun pemerintah
berperan serta di sini. Pemerintah dan masyarakat sama-sama bertanggung jawab untuk
mempermudah akses terhadap buku. Penulis, penerbit bertanggung jawab terhadap judul
dan isi buku yang menarik minat.
Di sisi lain, budaya bangsa Indonesia saat ini lebih cenderung lisan (oral) dibandingkan tulisan (literasi). Hal ini membuat rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Banyak anak-anak dan orang tua yang lebih suka menonton daripada membaca. Mereka lebih hapal selebritis, aktris, maupun aktor pemeran sinetron daripada nama-nama penulis buku. Kalau mereka memakai ponsel, lebih banyak dihabiskan dalam media sosial, menonton video, atau bermain game.
Penyebab lainnya, adalah terlalu sibuk mencari nafkah sehingga kurang waktu untuk membaca. Bahkan diperparah dengan munculnya mitos remaja, bahwa anak muda yang suka membaca itu nerd, culun, lugu, kuper, dan sebagainya.
Padahal, di era informasi, literasi merupakan hal yang penting dan mendesak. Kebiasaan membaca dapat mempengaruhi peradaban dan menjadikan insan-insan yang intelek dan berwawasan luas untuk memenangkan persaingan global.
Rendahnya minta baca terindikasi dari sepinya orang yang berkunjung ke perpustakaan untuk membaca, baik perpustakaan nasional, maupun perpustakaan lokal dan daerah di masing-masing sekolah, lembaga atau intansi. Bahkan penjualan buku fisik mengalami penurunan dari tahun 2013, dari 69,766 juta eksemplar, menjadi 62,656 juta. Walaupun permintaan terhadap buku digital (ebook) mengalami peningkatan pada tahun 2018, akan tetapi masih di bawah 2% di pasar buku lokal (data IKAPI).
Ini berbanding terbalik dengan jumlah penerbit dan pengajuan ISBN judul buku baru di perpusnas yang mengalami peningkatan signifikan. Tahun 2018, ada 1317 penerbit meningkat signifikan dari 1158 di tahun 2013. Pada tahun 2013, jumlah judul buku yang diajukan ke perpusnas 36.624 buah, pada tahun selanjutnya 44.327 judul.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia lebih suka menulis daripada membaca. Padahal sebagai penulis, penguasaan literasi dan kesukaan membaca adalah dapat diibaratkan sebagai tulang punggung. Tanpa itu, karya yang dihasilkan akan seperti pepesan kosong, tidak berisi, dan kurang memiliki makna.
Oleh karena itu, untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini, mari kita tingkatkan dan terapkan kebiasaan berbagi ilmu dan membaca.
Add your comment